
Palangka Raya – Komandan Tim Unit Pencegahan dan Identifikasi Satgas Densus 88 Satgaswil Kalteng, Ganjar, mengingatkan generasi muda LDII agar selalu bersyukur karena di Indonesia mampu hidup damai meski memiliki ribuan pulau, bahasa, dan budaya.
Ganjar menceritakan pengalamannya saat bertugas di Sudan dan Afganistan, di mana konflik perang saudara menimbulkan penderitaan, termasuk anak-anak yang busung lapar akibat masing-masing pihak merasa paling benar.
“Kita di Indonesia harus bersyukur. Saya pernah tugas di Sudan, di sana konflik perang saudara. Anak-anak kecil di sana busung lapar karena masing-masing kelompok menganggap benar dan yang lain salah. Kita dengan ribuan pulau, bahasa, budaya disini bisa damai rukun karena ada Pancasila dan UUD 1945,” kata Ganjar saat Penguatan Wawasan Kebangsaan generasi muda LDII Kota Palangka Raya di Masjid Jamiatul Amaliyah, Minggu, 24 Agustus 2025.
Ia menegaskan intoleransi, radikalisme, dan terorisme tidak ada kaitannya dengan agama. Menurutnya, paham tersebut justru menyusup di kelompok kecil yang berusaha mengaburkan kehidupan beragama dan bernegara. Generasi muda LDII, lanjut Ganjar, sudah memiliki bekal kuat dengan wawasan kebangsaan dan 29 karakter luhur.
Sementara itu, Personel Satgaswil Kalteng Densus 88, Briptu Raka Sabda Berkah, menekankan bahwa pembiaran terhadap intoleransi dan radikalisme dapat menghancurkan negara. Ia mencontohkan konflik di Irak, Iran, Suriah, hingga aksi teror di Indonesia seperti Bom Bali dan Bom Mariot.
Menurutnya, terorisme merupakan proses panjang yang berawal dari sikap intoleran. “Hal besar selalu diawali dari hal kecil. Kita jangan sekali-kali membeda-bedakan walaupun di urusan beragama kita masing-masing, tetapi dalam kehidupan sosial dan bernegara kita tidak membeda-bedakan,” ucap Briptu Raka.
Ia menjelaskan, paham intoleransi biasanya ditandai dengan tidak mau berteman dengan yang berbeda suku, agama, atau tempat ibadah. Sikap itu berkembang menjadi saling menjauh, menyalahkan, hingga akhirnya berujung pada aksi kekerasan dan teror.
Briptu Raka menegaskan terorisme tidak bisa dilihat dari penampilan seperti cadar atau celana cingkrang, melainkan dari perilaku yang anti kebinekaan, anti Pancasila, dan menolak simbol-simbol negara.
“Karakter paham terorisme itu biasanya mengkafirkan, menggunakan jihad sebagai berperang, tidak mau menyanyikan lagu Indonesia Raya tidak mau hormat bendera merah putih,” tambahnya.